Minggu, 08 April 2012

Involusi Pertanian


Involusi Pertanian

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki banyak pulau, salah satu pulau tersebut ialah pulau Jawa. Pulau Jawa memilki luas 132.000 Km², kira-kira 9% dari luas Indonesia yakni 1,5 juta km². akan tetapi dari seluruh jumlah penduduk Indonesia hampir 2/3 bertempat di jawa. Ini berarti 9% luas tanah Indonesaia menampung 2/3 jumlah penduduk sedangkan 90% luas tanah hanya menampung 1/3 jumlah penduduk.
Pola kontras antara jawa dengan luar jawa ini juga dapat dilihat dari penggunaan tanah. Hampir 70% pulau Jawa ditanami setiap tahun, sedangkan diluar jawa hanya sekitar 4%. Bagian luar jawa hampir 90% ditanami dengan cara perladangan, bercocok tanam berpindah-pindah dan tebang bakar. Sementara di Jawa hampir seluruhnya ditanami 2 kali setahun dengan cara sawah beririgasi.
Dipulau jawa yang padat ini selain terjadi pertumbuhan produksi yang pesat juga diimbangi dengan jumlah penduduk yang pesat pula, sehingga seringkali tidak ada kemajuan dipulau jawa, yang kemudian menyebabkan kemiskinan.
A. Pengertian Involusi Pertanian
Dalam hal usaha tani, involusi sering digambarkan dengan taraf produktifitas yang tidak menaik dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kenaikan hasil perhektar memang dicapai, tetapi hasil yang lebih tinggi ini hanya mampu untuk mencukupi taraf penyediaan pangan perorang yang makan nasi. Bahakan di Jawadari masa 1930-an sampai tahun 1968 taraf ini juga turun dan mengubah pola pangan. Beras berkurang sedangkan jagung dan ubi-ubian bertambah.
Gambaran ini sesuai dengan teori Involusi dari para antropolog yaitu suatu kemandekan atau kemacetan pola pertanian ditunjukan oleh tidak adanya kemajuan yang hakiki. Jika ada gerak, misalnya orang berjalan, berlari, atau menunjuan gerakan lain didalam linmgkungan air , tidak ada gerakan yang menghasilkan kemajuan: orang tetap berada ditempat yang sama, misalnya diperairan, berenang ditempat menjaga diri tidak tenggelam tanpa mencapai tujuan lain.
Menurut Geertz involusi ialah perubahan yang hampir tidak terjadi perkembangan karena terbagi, maksudnya kenaikan jumlah produksi bersamaan dengan melonjaknya jumlah penduduk (Produksi mengikuti deret ukur, jumlah penduduk mengikuti deret hitung).
Pengertian dari Involusi yang lain ialah meningkatnya jumlah penduduk tanpa dibarengi penambahan lahan garapan sehingga mereka kemudian terpaksa membagi lahan pertanian sama-rata, sama-rasa.
Involusi ini ditandai dengan terjadinya dualisme ekonomi:
1. kehidupan eonomi kolonial yang bersifat kapitalis bejalan diatas sistem atau lembaga tradisional. Karena sistem ekonomi kolonial berjalan sendiri. Tidak akan mungkin akan bisa hidup.
2. adanya hubungan sekaligus pertarungan antara sistem kapitalis dengan tradisional. Ekonomi barat yang bersifat kapilastik menjalankan kegiatanya dengan menggunakan alat dalam bentuk kontrak, uang, jual beli dan lain-lain.
Menurut teori dari james C. Scott ketika petani tidak memiliki pilihan lagi untuk melakukan pembagian lahan produksi, kebutuhan subsiten tidak lagi terpenuhi maka satu-satunya jalan adalah dengan menentangnya atau bahkan dengan pemberontakan. Dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara teori geertz dengan teori james yaitu:
· teori geertz, pusat penelitian lebih bersifat ke pedesaan atau pedalaman (Homogen)
· teori James, pusat penelitian lebih kepinggiran serta pantai (Heterogen).
B. Proses Involusi Pertanian Indonesia
Sistem tanam paksa sangat menentukan dalam pemusatan pertanian di Jawa. Sistem itu telah memberikan bentuk terakhir paa perbedaan yang ekstrim antara jawa dan luar jawa dan semenjak itu perbeaan semakin besar. Sistem Tanam Paksa telah memantapkan pola ekonomi rangkap dengan sektor barat yang padat modal dan sektor timur yang padat karya. Sistem Tanam Paksa telah menyebabkan makin pesatnya perkembangan sektor barat dan membekukan sektor timur. Selain itu sistem ini telah mencegah pengaruh akibat makin mendalamnya penetrasi barat ke dalam kehidupan petani dan priyayi Jawa, sehingga modernisasi pertanian dikalangan pribumi pada saat yang sangat menguntungkan tidak terjadi saat itu.
Dalam sistem tanam paksa, tanaman dipisahkan jadi 2 yaitu:
1. Tanaman Tahunan, yang dapat ditanam disawah bergiliran dengan padi (tebu, nila, tembakau).
2. tanaman keras, yang tidak dapat digilir dengan padi (kopi, teh, lada, kina serta kayu manis).
Adanya 2 tanaman ini menimbulkan berkembangnya 2 gaya seling mempengaruhi: tanaman tahunan cenderung untuk membentuk hubungan mutualis (timbal balik) dengan komunitas, bersama-sama mempergunakan habitat tanpa menimbulkan ketegangan. Tanaman keras cenderung kearah hubungan insuler, menempati habitat yang belum dipergunakan dan menutup diri dari sistem-sistem pribumi sebagai kantong-kantong yang memang wajar.
Tanaman yang dapat mewakili 2 jenis tanaman dari sistem tanam paksa adalah:
1. tanaman tebu (termasuk tanaman tahunan)
2. tanaman kopi (termasuk tanaman keras)
keduanya adalah tanaman yang mempergunakan lahan yang luas, menyerap tenaga keraja yang cukup besar, menghasilkan keuntungan yang tinggi atau mempunyai pengaruh yang relatif lama terhadap struktur umum ekonomi rakyat petani.
Tebu merupakan tanaman yang butuh irigasi sehingga harus ditanam di sawah. Tebu memakai pajak berdasarkan 1/5 tanah petani. Sedangkan kopi merupakan tanaman yang cocok ditanam didaerah pegunungan dan tidak membutuhkan irigasi sehingga ditanam di daerah selain daerah tanaman padi. Pajak dari kopi berdasarkan padat karya, taksiran diambil dari segi jumlah pohon kopi yang harus dipelihara oleh orang yang ditunjuk untuk menanamnya.
Ironisnya yang terjadi ialah sebaliknya. Dalam 3 dasawarsa terakhir dari zaman penjajahan, kurang lebih hanya 6% produksi kopi Indonesia berasal dari pemilik lahan kecil, sedangkan lebih dari 95% produksi gula berasal dari perkebunan-perkebunan milik belanda yang ada di Jawa.
Produksi kopi dengan cepat meningkat dalam waktu 10 tahun. Pada tahun 1813 di Jawa, terdapat lebih dari 100.000 batang pohon kopi, dua tahun kemudian 1835 berlipat menjadi 2 kali lipat, dan pada tahun 1840-1850 lebih dari 3 kali lipat jumlah tersebut. Selama periode sistem tanam paksa, kopi untuk jawa sama dengan tekstil untuk Inggris. Berbeda dengan kopi, gula tidak meningkat dengan pesat saat pertama kali diadakan sistem tanam paksa. Justru ketika kopi mengalami stagnanisasi produksi produktivitas dari gula semakin meningkat.
Peningkatan produksi ini ternyata hanya menguntungkan pihak Belanda. Sedangkan bagi pihak pribumi kurang diuntungkan karena pihak belanda tidak melibatkannya dalam keuntungan yang diperoleh dari kedua tanaman ekspor tersebut. Hal ini kemudian diperparah dengan lahan yang dipakai sebagai lahan tanaman pangan tidak mengalami peningkatan sehingga produsipun tidak mengalami peningkatan yang berarti bila dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Pada tahun 1830 terdapat 7.000.000 jiwa penduduk di Jawa, tahun 1840 kemudian bertambah menjadi 8.700.000 jiwa, tahun 1850 menjadi 9.600.000 jiwa, 1860 menjadi kurang lebih 12.700.000 jiwa, 1870 menjadi 16.200.000 jiwa, 1880 berubah menjadi 19.500.000 jiwa, pada tahun 1890 mengalami penurunan akibat banyaknya wabah menjadi 13.600.000 jiwa, akan tetapi pada tahun 1900 jmlah ini tel;ah menjadi 28.400.000 jiwa.
Kenaikan jumlah penduduk jawa saat itu kurang lebih 2% selama 10 tahun. Ketika peningkatan ini terjadi orang-orang jawa khususnya petani memiliki 2 posisi keadaan yang paling jelek yaitu ekonomi yang mandek atau stagnan dan jumlah penduduk yang terus meningkat. Keadaan inilah yang kemudian sering disebut dengan involusi pertanian.
Penanaman tebu di Jawa, distribusi sawah dan penduduknya yang tidak merata menyebabkan petani tidak memiliki pilihan lain untuk menanggulangi kenaikan jumlah petani kecuali dengan: mengusahakan sawah mereka dengan lebih giat dan bahkan seluruh sumber daya pertanian mereka dengan cara yang seksama, karena tidak akan ada industri yang menampung mereka sedang lahan pertanian kosong sudah penuh oleh tanaman kopi.
Demikianlah secara lambat laun, petani terpaksa memasuki pula sawah yang makin lama makin sesak dengan pegawai, sperti yang terlihat dari tahun 1920. penduduk luar biasa besarnya diserap ke sawah yang terlalu sempit, terutama didaerah tebu yang telah mempertinggi mutu irigasi. Kenaikan produktivitas perhektar sebagi akibat perbaikan irigasi tesebut dan dengan bantuan palawija merupakan standar hidup yang stabil atau stagnan. Persawahan dengan kemampuan yang luar biasa mampu mempekerjakan seseorang tanpa menyebabkan kemerosotan pendapatan perkapita dengan serius. Namun bagaimanapun, akhirnya akan menimbulkan suatu kemerosotan (proses involusi pertanian).
C. Perbedaan Jepang dan Indonesia
Untuk kasus jawa yang sebanding adalah bila dibandingkan dengan Jepang. Banyak persamaan di Jawa dan Jepang khusunya dalam bidang kepadatan penduduk dan bidang pertanian, dimana keduanya tergantung pada budi daya yang padat karya, kecil-kecilan dan aneka tanaman (multicrop) yang berintikan padi. Hasil padi perhektar jepang pada awal zaman restorasi Meiji (1868) hampir sama dengan hasil padi di Jawa pada permulaan system perkebunan korporasi (1870).
Antara tahun 1878 sampai dengan 1942 prosentase angkatan kerja yang bekerja dibidang pertanian turun dari 80% menuju ke 40%. Sedangkan di Jawa pada tahun 1930 angkatan kerja masih berkisar 65%. Ketika jawa mengalami involusi maka jepang tidak mengalami hal tersebut. Adanya beberapa perbedaan tentunya telah membuat suatu teori tidak dapat terjadi pada daerah lain. Perbedaan jepang dengan jawa antara lain:
Ukuran
Jawa
Jepang
teknik
Perbaikan yang lambat laun dengan cara sepenuhnya padat karya
Pertumbuhan yang pesat baru mulai sekitar tahun 1870, jelas sebagai akibat turunya angka kematian karena kenaikan standar hidup nasional, dan akibat meningkatnya fertilitas karena disebabkan oleh meluasnya lapangan kerja di dalam sector manufaktur.
penduduk
Perbaikan yang lambat laun selama perriode ni samapai sekitar 19000, pada dasarnya juga terjadi dengan cara padat karya, tetapi sesudah masuk modal jumlah penduduk meningkat pesat.
Pertumbuhan yang pesat baru mulai sekitar tahun 1870, jelas sebagai akibat turunya angka kematian karena kenaikan standar hidup nasional, dan akibat meningkatnya fertilitas karena disebabkan oleh meluasnya lapangan kerja di dalam sector manufaktur.
Lapangan kerja
Tidak ada perluasan yang berarti diluar lapangan kerja pertanian trasdisional, yang ada ialah perluasan perkebunan dengan tenaga petani sebagai sanbilan.
Perluasan lapangan kerja 7% Lebih Cepat Dari Jawa
urbanisasi
Terhambat, kota-kota besar maupun kota-kota kecil tumbuh lebih lambat daripada jumlah penduduk.
Tumbuh pesat, terutama setelah Zaman Restorasi Meiji, kota-kota besar maupun kota-kota kecil tumbuh lebih cepat dari pada pertumbuhan jumlah penduduk.
Pendapatan perkapita
Dalam sektor pertanian dapat dikatakan pertumbuhan lambat bahakan stagnan. Sedangkan perkebunan meningkat dengan cepat.
Dalam sector pertanian naik semakin pesat dan kenaikan ini dipergunakan untuk membiayai kenaikan dalam sektor industri.
Dualisme ekonomi
Semakin tajam masukan modal meningkat di dalam sektor perkebunan, sedangkan di sektor pertanian masukan kerjalah yang meningkat. Perpisahan antara kedua sektor itu terjadi sekaligus dalam bidang kebudayaan, sosial, dan teknologi dengan aktivitas industri madya yang sedikit.
Industry setelah zaman Meiji sangat cepat, tetapi diperlunak oleh hubungan yang erat dalam bidang kebudayaan, sosial, dan ekonomi diantara kedua sektor itu dan oleh berkembangnya aktivitas industry kecil.
Simpulan
Involusi memiliki dua arti yaitu:
1. involusi ialah perubahan yang hampir tidak terjadi perkembangan karena terbagi, maksudnya kenaikan jumlah produksi bersamaan dengan melonjaknya jumlah penduduk (Produksi mengikuti deret ukur, jumlah penduduk mengikuti deret hitung).
2. Involusi ialah meningkatnya jumlah penduduk tanpa dibarengi penambahan lahan garapan sehingga mereka kemudian terpaksa membagi lahan pertanian sama-rata, sama-rasa.
Tanam paksa merupakan landasan awal dari terjadinya involusi di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah pertumbuhan tanaman tebu di lahan pangan petani sehingga petani tidak memiliki lahan untuk menanam padi. Tidak bertambahnya lahan tanam padi ini diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang pesat sehingga petani harus memasukan tenaga kerja yang berlebih ke dalam sawah yang menyempit. Hal inilah yang disebut dengan proses involusi yang kemudian akan menyebabkan petani akan berfikir keras dalam mengelola sawahnya, karena lapangan kerja diluar pertanian tidak tersedia.
Jepang dan Jawa merupakan sebuah kasus dengan latar belakang yang sama akan tetapi berakhir berbeda. Perbedaan ini terletak di bidang teknik pertanian, pertumbuhan lapangan kerja, pendapatan perkapita, urbanisasi dan dualisme ekonomi. Perbedaan hasil dari jepang dan jawa ialah ketika jawa terkena involusi maka jepang tidak terkena Involusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar